Sabtu, 02 Mei 2009

Nyaman dan aman. Itulah dua aspek penting dalam membuat sebuah rancangan rumah. Kenyamanan konstruksi rumah mungkin tergantung dengan selera individu. Namun, tidak untuk masalah keamanan konstruksi bangunan. Karena, memiliki bangunan rumah aman adalah keinginan kita semua.

Sayangnya, obsesi bangun rumah menjadi tempat tinggal yang aman kadang tidak kita pikirkan dampaknya. Pasalnya, ketatnya keamanan rancangan konstruksi rumah bisa saja menjadi sebuah dilema besar bagi kita. Bukan rasa aman yang didapat, melainkan ‘maut’ siap menanti, seandainya terjadi peristiwa yang tidak kita inginkan.

Kasus kebakaran rumah (terutama berdesain ruko) yang marak terjadi akhir-akhir ini adalah contohnya. Beberapa korban tewas, salah satunya diakibatkan desain rancangan bangunan rumah yang terlalu ketat. Tidak ada sedikitpun celah untuk bisa melarikan diri. Jeruji besi yang sedianya dipasang untuk keamanan rancang bangun rumah, berubah menjadi sebuah ruangan bak neraka. Karena tak bisa keluar, korban pun akhirnya pingsan dan terbakar.

Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, bukan satu ring saja jeruji besi itu terpasang. Bisa sampai beberapa lapis. Dari mulai teras rancang rumah, pintu, jendela hingga balkon. Demikian juga di ruang bangun rumah terbuka lainnya. Karena, disadari atau tidak, kondisi ini dapat meminimalkan gerak penghuninya bila bencana seperti kebakaran terjadi.
Bagaimana mau menyelamatkan diri jika terjebak dalam ruangan?. Jangankan untuk loncat, mencari bantuan dengan berteriak pun bukanlah hal yang mudah. Jeruji besi yang terpasang tidak memberi sedikitpun ruang untuk bisa mempertahankan diri dari kobaran api.

Menurut Aditya ST dan Anditya ST
, dua kakak beradik yang berprofesi sebagai arsitektur ini, keamanan memang menjadi sebuah harga mati bagi masyarakat. Mengingat tingkat kriminalitas di kota-kota besar, seperti Medan yang makin merajalela. Sayangnya, konsep keamanan tersebut ternyata tidak mempertimbangkan dampak negatif seandainya bahaya datang dari dalam rancangan rumah.
"Terlampau banyak 'benteng pertahanan' di rancangan konstruksi rumah membuat penghuni akan sedikit kelimpungan bila hendak keluar dari rumah. Pengamanan yang berlapis. Contohnya jendela yang sudah dijeruji lalu dikerangkeng lagi, justru menyukarkan penghuni seandainya bencana berasal dari dalam bangunan rumah,” papar Aditya ST, saat ditemui Global kemarin.

Menurut kedua arsitek ini, biasanya yang banyak menggunakan konsep keamanan seperti ini adalah masyarakat yang tinggal di Rumah Toko(Ruko). Desain konstruksi bangunan ruko yang langsung mentok ke dinding tanpa ada selasar di belakang rancangan bangunan rumah dinilai tidak baik bila dipandang dari segi keamanan. Pasalnya, akses keluar konstruksi rumah hanya satu saja yakni dari depan rancang bangun rumah.

Aditya mengatakan pengadaan rancang rumah selasar di belakang rumah toko amat penting. Sebagai 'pintu' lain sebuah rumah. Idealnya lebar selasar 1,5 hingga 2 meter. Tapi karena rasa sayang mengurangi lahan untuk dijadikan lorong kecil, kebutuhan akan selasar dikesampingkan.

Seyogianya jika bencana terjadi misalnya kebakaran, selasar dapat digunakan sebagai jalan untuk melarikan diri, keluar dari rumah. “Tapi yang kita lihat, pengembang cenderung mau hemat. Kalau lahan digunakan sebagai selasar kan mengurangi luas rumah, harganya lebih murah ketimbang rumah yang tidak ada selasarnya,” tambah Anditya.

http://www.harian-global.com/

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan lihat di Bangun Rumah - Rancangan Rumah - Rancangan Konstruksi - Rancangan Bangunan - Konstruksi Bangunan Konstruksi Rumah - Bangunan Rumah - Rancang Bangun - Rancang Rumah dan
Jasa Mandor : Bangun & Rancangan Rumah - Konstruksi Bangunan Rumah & Rancang Bangun Rumah Jakarta di 88db.com

0 komentar: